Penyusunan Dokumen Lingkungan di Pontianak
Our Story
Strategi Untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Pada Wilayah Yang Mengalami Penundaan Perizinan Kegiatan Pada Lahan Gambut
Gambut menurut situs Wikipedia adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk; oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi. Tanah yang terutama terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat; dan lahan-lahan bergambut di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti bog, moor, muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain. Istilah gambut sendiri diserap dari bahasa daerah Banjar. Sebagai bahan organik, gambut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Volume gambut di seluruh dunia diperkirakan sejumlah 4 trilyun m³, yang menutupi wilayah sebesar kurang-lebih 3 juta km² atau sekitar 2% luas daratan di dunia, dan mengandung potensi energi kira-kira 8 miliar terajoule
Gambut terbentuk tatkala bagian-bagian tumbuhan yang luruh terhambat pembusukannya, biasanya di lahan-lahan berawa, karena kadar keasaman yang tinggi atau kondisi anaerob di perairan setempat. Tidak mengherankan jika sebagian besar tanah gambut tersusun dari serpih dan kepingan sisa tumbuhan, daun, ranting, pepagan, bahkan kayu-kayu besar, yang belum sepenuhnya membusuk. Kadang-kadang ditemukan pula, karena ketiadaan oksigen bersifat menghambat dekomposisi, sisa-sisa bangkai binatang dan serangga yang turut terawetkan di dalam lapisan-lapisan gambut.
Secara umum suatu kawasan tanah dapat disebut sebagai gambut apabila kandungan bahan organik dalam tanah melebihi 30%; akan tetapi hutan-hutan rawa gambut di Indonesia umumnya mempunyai kandungan melebihi 65% dan kedalamannya melebihi dari 50cm. Tanah dengan kandungan bahan organik antara 35–65% juga biasa disebut muck. Pertambahan lapisan-lapisan gambut dan derajat pembusukan (humifikasi) terutama bergantung pada komposisi gambut dan intensitas penggenangan. Gambut yang terbentuk pada kondisi yang teramat basah akan kurang terdekomposisi, dan dengan demikian akumulasinya tergolong cepat, dibandingkan dengan gambut yang terbentuk di lahan-lahan yang lebih kering. Sifat-sifat ini memungkinkan para klimatolog menggunakan gambut sebagai indikator perubahan iklim pada masa lampau. Demikian pula, melalui analisis terhadap komposisi gambut, terutama tipe dan jumlah penyusun bahan organiknya, para ahli arkeologi dapat merekonstruksi gambaran ekologi pada masa purba.
Pada kondisi yang tepat, gambut juga merupakan tahap awal pembentukan batubara. Gambut bog yang terkini, terbentuk di wilayah lintang tinggi pada akhir Zaman Es terakhir, sekitar 9.000 tahun yang silam. Gambut ini masih terus bertambah ketebalannya dengan laju sekitar beberapa milimeter setahun. Namun gambut dunia diyakini mulai terbentuk tak kurang dari 360 juta tahun silam; dan kini menyimpan sekitar 550 Gt karbon.
Terkait pengelolaan lahan gambut, pada tahun 2013 Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan mengenai penundaan izin kegiatan untuk lahan gambut. Kebijakan tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 6/2013 dan diperpanjang melalui Instruksi Presiden Nomor 8/2015 dengan masa berlaku 2 tahun sejak diundangkan.
Pertimbangan penundaan perizinan kegiatan ini dikarenakan lahan gambut dianggap memiliki karakteristik khusus dalam menjaga kesimbangan lingkungan. Keseimbangan tersebut diantaranya adalah sebagai penyerap karbon dalam rangka pengurangan emisi karbon, sebagai pendukung ekosistem lahan basah, dan sebagai pendukung vegetasi pada lahan basah tertentu .
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem Gambut pada Pasal 1 disebutkan bahwa Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi Ekosistem Gambut dan mencegah terjadinya kerusakan Ekosistem Gambut yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Tanggapan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem Gambut pada Pasal 1 dijelaskan secara umum dengan menyebutkan Pengelolaan sistematis dan terpadu. Kami pribadi mendefinisikan Pengelolaan atau manajemen sebenarnya adalah suatu cara terkompilasi yang dilakukan untuk memastikan suatu proses atau kegiatan berjalan sesuai dengan fungsinya.
Dari kajian kajian yang ada, pemerintah pada akhirnya membuat keputusan menunda perizinan pada lahan gambut yang ditunjuk. Akibatnya, investasi pada lahan gambut tersebut menjadi tertunda dan secara pembangunan modern, lahan tersebut menjadi lahan tidur. Di Kalimantan Barat, lahan tidur dapat kita temui di sepanjang wilayah Kabupaten Mempawah, dan Sambas menuju Paloh, serta Kabupaten Kubu Raya. Di sepanjang jalan tersebut, jarang kita temui bangunan komersil, padahal bangunan komersil menunjang perekonomian komunitas lokal.
Dari peta sebaran lahan gambut di wilayah kabupaten kuburaya, diketahui bahwa lokasi tersebut terletak di wilayah yang cukup sulit diakses oleh transportasi darat maupun sungai menuju pusat perekonomian terdekat. Area tersebut diantaranya adalah Wilayah Kubu, Kakap, dan sebagian wilayah Ambawang menuju perbatasan Kabupaten Sanggau. Dengan sulitnya akses menuju pusat perekonomian, secara otomatis, masyarakat setempat akan berusaha mencari area komersil yang terdekat dengan wilayahnya.
Tingginya pertumbuhan penduduk, secara langsung akan meningkatkan permintaan. Itu adalah salah satu hukum ekonomi yang dipercaya hingga saat ini. Tingginya permintaan akan pembangunan area komersil di area gambut, terhalang oleh peraturan pemerintah tersebut. Akibat langsung yang dirasakan adalah, sulitnya memperoleh kebutuhan sehari hari dengan harga terjangkau, karena penjualan kebutuhan pokok hanya di dominasi oleh satu atau dua penjual saja.
Keuntungan yang didapat dari pengelolaan area komersil terpadu di lahan gambut adalah, perekonomian rakyat sekitar dapat tumbuh dan berkembang, sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan semakin membaiknya perekonomian masyarakat lokal, maka passion untuk mengeksploitas hutan atau kawasan yang ada pada lahan gambut akan berkurang, karena pola sosial masyarakat akan pelan pelan berpindah dari masyarakat yang mengeksploitasi hutan atau rawa gambut sebagai mata pencaharian utama menjadi masyarakat yang menerapkan perekonomian lebih maju seperti misalnya berjualan pakaian, kebutuhan sehari-hari dan turunannya.
Semakin majunya pola social masyarakat sekitar, akan membuat kemajuan pola pikir. Jika pola pikir masyarakat semakin maju, maka keinginan untuk menjaga lingkungan gambut juga akan semakin tinggi. Sehingga tujuan akhir dari pengelolaan lingkungan pada lahan gambut akan dapat tercapai jika perekonomian masyarakat sekitar dapat terpenuhi, dari masyarakat yang tertinggal secara pembangunan dan ekonomi, menjadi masyarakat yang mandiri dan maju secara ekonomi maupun intelektualitas. Hal ini sesuai dengan pasal 33 ayat (4) UUD 1945 seperti yang telah disebutkan diatas.
Dalam penerapan kebijakan, selalu ditemui distorsi atau penyelewengan konsep yang sudah direncanakan. Untuk meminimalisasi distorsi kebijakan ini, maka perlu suatu tindakan pengawasan yang berasal dari gabungan pemerintah pusat, masyarakat lokal, akademisi dan penegak hukum. Kemungkinan distorsi ini adalah adanya izin pembangunan area komersil terpadu yang dikeluarkan selain konsesi yang direncanakan. Mengenai hal ini, pemerintah harus menerapkan efek jera bagi pelakunya. Salah satunya dengan menerapkan hukum berat kepada pelaku penyelewangan perizinan ini mulai dari intansi yang mengeluarkan izin sampai dengan pelaku lapangan. Hal ini perlu dilakukan untuk menimbulkan efek jera bagi pelakunya.
Pendekatan Regulasi
Terdapat hal menarik dalam amandemen undang-undang dasar 1945 di pasal 33. Pada pasal 33 ayat 4 UUD 1945 yang telah di amandemen disebutkan bahwa :
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”
Pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan menjadi salah satu amanat yang harus diterapkan di Indonesia untuk mendukung perekonomian nasional. Pembangunan area komersil di lahan gambut memiliki tujuan salah satunya adalah sebagai penguat ekonomi nasional. Luas lahan kosong di negara ini menciptakan arus rantai distribusi yang membuat harga barang melambung. Oleh karena itu diperlukan suatu area khusus yang dikelola pemerintah agar komitmen dan pengelolaan dampaknya dapat di maksimalkan untuk kesejahteraan rakyat dan pengelolaann lingkungan.
Sebagaimana di tuliskan dalam pasal 33 ayat (2) bahwa Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pemerintah dapat membuat suatu area yang di handle oleh pemerintah pusat. Perlunya pemerintah pusat menghandle area ini adalah untuk meminimalisasi penyalahgunaan dan pemanfaatan area komersil di lahan gambut ini demi kepentingan politik daerah yang menurut saya lebih massif dampaknya.